Part 1
Dimas menarik sudut bibirnya melihat wanita dihadapannya meneteskan air mata setelah selesai membaca novelnya. Dia puas sad ending di novelnya dinikmati sedalam itu oleh pembaca berambut ikal itu. Gadis itu sepertinya memiliki kecerdasan emosional yg baik sehingga mudah tersentuh kisah fiksi.
Tapi gadis ini, rambut ikal kulit sawo matang dan tahi lalat di hidungnya yg tidak mancung. Dia mirip Bella. Salah satu tokoh di novelnya.
***
Wina menutup buku dihadapannya. Ia menyadari air matanya mengalir. Ia menatap kosong berusaha mencerna perasaan aneh yg tiba-tiba menyusup di hatinya. Dadanya mulai sesak, ia berusaha agar menangis tanpa suara. Ya, dia menangis. Tersedu sesak di tengah banyak orang. Ia bingung mengapa bisa begitu emosional setelah membaca novel fiksi di hadapannya. Ia mulai kesulitan karena sesegukan. Terlambat baginya untuk pergi mencari tempat yg sepi untuk menangis. Bernafas saja ia harus saingan dengan seseguknya. Pelayan kafe yg khawatir menghampiri dan bertanya ada apa. Wina hanya sanggup menggeleng. Sambil sesegukan ia berusaha mengetik pesan untuk saudara laki-lakinya agar menjemputnya di kafe itu. Wina mulai tidak enak karena mengganggu pengunjung kafe yg lain. Iya berusaha mati-matian mengucapkan maaf di tengah seseguk tangisnya.
***
Dimas masih memperhatikan Bellanya yang menangis sesegukan di mejanya. Ia terlihat kesulitan berusaha menahan tangis. Orang-orang disekilingnya mulai memperhatikan. Pelayan kafe juga mulai medekatinya. Ah, dia terlalu emosional dan tidak bisa mengontrol tangisnya. Tapi sudah ada pelayan kafe yang akan membantunya. Dia akan baik-baik saja. Tunggu sebentar. Apa ini? Apa Dimas berpikir untuk menghentikan tangis gadis itu? Ah tidak. Dia hanya merasa bertanggungjawab karena Bella menangis setelah membaca novelnya.
Pelayan kafe berusaha mengajak Wina ke ruangan staff untuk menenangkan diri. Wina bangun mengikuti arahan pelayan kafe itu. Wina dituntun ke sebuah ruangan di dekat kasir. Wina duduk di sana berusaha menguasai dirinya. Tapi suara tangisnya masih belum berhenti. Ia mulai menggigit bibir dan menutup mulutnya. Ia tidak sanggup membendung sakit dihatinya. Ia merasa seolah sangat merindukan seseorang. Tapi ia tidak tahu siapa yg sedang dirindukannya. Hatinya sakit. Terlalu sakit hingga ia merasa perlu melukai dirinya untuk mengalihkan rasa sakitnya. Pelayan kafe mulai khawatir melihat Wina tak kunjung tenang. Ia hanya bisa mengusap-usap punggung Wina dan memastikan ia tetap bernafas. Kemudian seorang lelaki masuk ke dalam ruangan. Mendekati Wina mengangkat kedua tangan Wina ke belakang kepala dan membuat kepalanya menengadah. Wina menurut mengira itu Willi adiknya.
"Sekarang coba berusaha tarik nafas dalam-dalam." Wina tidak mengenal suara ini.
Masih dengan sesegukan Wina membuka mata memastikan siapa yg memberi perintah. Bukan Willi. Tapi Wina menurut juga. Ia berusaha mati-matian menarik nafas panjang. Meski masih tersedu-sedu dan dia benci itu. Perlahan ia menyadari sesak didadanya sudah mereda. Saat itu Willi yg baru tiba juga masuk ke dalam ruangan staff setelah diarahkan oleh pelayan.
"Nona" panggil Willi lembut
Wina mengenal suara Willi langsung sembunyi dalam pelukan Willi ketika Willi sampai di sampingnya. Willi mengusap pundaknya yg masih bergetar. Tidak tahu sudah berapa lama kakaknya menangis.
Sejak terbangun dari koma. Kakaknya yg biasanya ceria dan hyper aktif jadi sering menangis tanpa alasan. Setelah menangis ia akan marah-marah karena ia sendiri tidak mengerti mengapa ia menangis. Syukurlah kakaknya tetap sadar meski aneh. Entah ini efek samping koma atau apapun itu, tapi ini sudah sangat keterlaluan. Kakaknya seolah lupa cara bahagia.
Comments
Post a Comment